Pondok Gomang – Diambil dari tulisan Kanjeng Pangeran Panji Noer Nasroh Hadiningrat tentang memaknai filosofi pusaka. Selengkapnya:
Pusaka tidak hanya sebagai alat perang tetapi juga berkedudukan sebagai status sosial dan Agama. Implementasi pusaka sebagai alat perang yaitu ketika terjadi konflik sosial karena masing-masing tidak bisa mengendalikan Hawa nafsunya. Adapun menurut ahlussufi, Hawa Nafsu itu ada 4:
Pertama, Nafsu Amarahyaitu nafsu yang mempengaruhi kepribadian seseorang yang bisa berakibat terhadap perbuatan yang nyimpang dari Agama dan aturan perundang undangan. Contoh melakukan Molimo.
Kedua, Nafsu Lawwamah yaitu nafsu yang mempengaruhi kepribadian seseorang yang selalu mencela terhadap orang lain dan menganggapnya dirinya sendiri yang paling baik dan benar. Perlu diketahui bahwa baik belum tentu benar dan benar belum tentu baik. Contohnya berpuasa itu adalah baik tetapi kalau di lakukan pada tanggal 1 syawal atau tanggal 10 dzulhijah s/d hari tasyriq itu tidak di benarkan. Ada juga benar tetapi belum tentu baik contoh menggeber-geberkan pedal gas mobilnya sendiri itu juga benar karena miliknya sendiri dan di rumahnya sendiri. Tetapi jika dalam kondisi tetangga sedang sakit gigi maka itu perbuatan yang tidak baik.
Ketiga, Nafsu Suffiyyahyaitu nafsu yang mempengaruhi kepribadian seseorang untuk berbuat menjernihkan hati, seperti melakukan dua hal yang merupakan kebahagiaan yang besar yaitu Qolban Syakiron (hati yang selalu bersyukur) dan Lisanan Dzakiron (lisan yang selalu di basahi berdzikir kepada Alloh).
Keempat, Nafsu Muthma’inahyaitu nafsu yang mempengaruhi seseorang dan dapat membuat ketenangan jiwa. Itupun kelak yang akan dibawa dan kembali kepada yang menciptakanya IRJI’I ILA ROBBIKI RODHIYATAMMARDHIYYAH. Dan untuk melatih ketenangàn jiwa itu paling mujarob adalah dzikrul maut. Maka ketika ziyaroh di maqom para Anbiya’ para Rusul , para Sohabat para Tabi’in para Wali dan para leluhur, barokah yang paling awal di rasakan adalah ketenangan batin. Maka jangan menganggapnya bahwa orang ziyaroh qibur itu adalah untuk kepentingan yang di ziyarohi , lebih dari itu juga sangat penting kepada orang yang ziyyaroh untuk misi dzikrul maut.
Pusaka sebagai status Agama, sebagaimana yang di Dawuhkan oleh Rosulullooh Addua’u silakhul mu’minin.. Do’a adalah pusakanya orang-orang Mu’min. Kemudian di implementasikan membuat pusaka sambil berdo’a seperti pedangnya Para Nabi dan Rusul termasuk pedangnya Nabi Dawud, pedangnya Kanjeng Nabi Ibrohim untuk menyembelih Korban, pedangnya Kanjeng Nabi, pedangnya Khulafa’ur Rosyidiin dan pusaknya Para Wali termasuk pusaka Kanjeng Sunan Ngampel, Kanjeng Sunan Giri bernama Kolo munyeng, pusakanya Kanjeng Sunan Kalijogo bernama Kyai Sengkelat dan pusaka-pusaka itu dibuat dengan nyebuat asma’ Alloh maka di sebut Asma’.
Pusaka berstatus Sosial, nampak dengan adanya 4 kasta:
Pertama, Kasta Brahmanana yang di percayai sebagai Dewa yang mempunyai pusaka Kembang wijoyo kusumo. Seperti Wisnu.
Kedua, Kasta Kesatriya seperti Janoko yang mempunyai pusaka Polanggeni, Kamandanu punya pusaka Nagapuspa, Metaram punya Tumbak pleret, Haryo Penangsang punya pusaka Brongot setan kober dan Ken Arok punya yang lain. Perlu di ketahui bahwa Ken Arok keturunanya habis sampai dengan Hayam Wuruk. Sedangkan yang menurunkan sampai Raja-Raja sekarang di Mataram adalah dari Tunggulametung sampai dengan Wikramawardhana dan seterusnya.
Ketiga, Kasta Waesa berdagang tentu pusakanya memakai Timbangan, takaran, kantong wadah uang, capil laken, pecut, Tali dadung kalkulator dll.
Keempat, Kasta Sudra pusakanya juga berbeda, seperti Cangkul, sabit, linggis, sekrop, dan buruh yg jadi Tukang pusakanya Gergaji, pasah, tatah dll., di gambarkan dalam sebuah dunia pewayangan Gareng mempunyai pusaka Pethel, Petruk mempunyai Pusaka sabit, Bagong mempunyai Pusaka Bendo dan Kyai Semar mempunyai Pusaka Kentut.